Malang, beritainfrastruktur.com Mohammad Anton atau yang dikenal dengan Abah Anton yang pernah terjerat kasus suap dan gratifikasi APBD-P Kota Malang tahun 2015 – 2016 mencalonkan kembali sebagai Calon Walikota Malang.
Pasalnya Perkara ini juga menyeret 41 anggota DPRD Kota Malang. Anton divonis 2 tahun penjara dan bebas pada 29 Maret 2020.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XXII/2024, bahwa yang wajib dikenakan masa tunggu adalah terpidana yang dalam pasal dakwaannya diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun atau lebih. Sementara, apabila konstruksi hukum yang dikenakan di bawah lima tahun, maka tidak perlu melalukan masa tunggu.
Akan tetapi Bawaslu RI mengeluarkan Surat edaran No : 96 Tahun 2024 yang dimana bahwa terhadap frasa ‘pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”, berpedoman dengan masa tunggu 5 (lima) tahun yang hanya dapat diberlakukan terhadap terpidana tindak pidana yang diancam 5 (lima) tahun atau lebih dan tidak dapat diberlakukan terhadap terpidana yang terbukti melakukan tindak pidana yang diancam pidana paling tinggi (maksimal) 5 (lima) tahun. Sungguh hal ini sesuatu yang menimbulkan polemik.
Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Brawijaya, Dr. Aan Eko Widianto, SH., M.Hum. Ia menjelaskan, bahwa eks napi tindak pidana korupsi (Tipikor) bisa mencalonkan kembali sebagai Calon Kepala Daerah. Namun, harus memenuhi syarat putusan MK nomor 54/PPU-XXII/2024 tersebut.
“Jadi secara konstruksi hukum, perbuatan yang dilakukan oleh mantan terpidana tersebut memiliki ancaman hukuman tidak lebih dari lima tahun. Namun, apabila ancaman hukuman dalam Pasal yang dikenakan atas perkara hukumnya antara lima tahun atau lebih, maka wajib mengikuti masa tunggu,” bebernya.
Ia menegaskan, bahwa yang digaris bawahi adalah ancaman hukuman dari pasal yang dikenakan saat putusan dari terdakwa tersebut. “Jadi bahasanya, bagi yang dalam konstruksi hukumnya terpidana ini diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih, maka harus melakukan masa tunggu,” ujar Dekan FH UB, ini.
Namun, terkait kepastian apakah nantinya pencalonan Abah Anton sebagai Cakada sah secara hukum, ia tidak bisa memastikannya untuk saat ini. “Karena saya harus tahu dulu, konstruksi hukum yang dikenakan dalam perkara Abah Anton ini seperti apa. Apabila memang pasal yang dikenakan dalam putusan ancaman hukumannya kurang dari lima tahun, maka tidak perlu masa tunggu. Jadi saya belum bisa memastikan sekarang,” tandasnya.
Sedangkan Menurut Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya (UB), Dr. Prija Djatmika, S.H.,M.S., seharusnya dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Malang bisa mengambil peran. Yakni untuk menyampaikan ke publik bahwa pencalonan Abah Anton harus mengacu pada putusan 94/Pid.Sus/Tpk/2018/PN.Sby atau putusan MK nomor 56/PUU-XVII/2019.
Sebab menurutnya, terdapat perbedaan antara kedua putusan tersebut. "Berdasarkan putusan itu, Abah Anton dicabut hak politiknya 2 tahun. Selesainya (hukuman penjara) tahun 2020, berarti selesai 2022," ujarnya.
Namun pada putusan MK nomor 56/PUU-XVII/2019, disebutkan bahwa mantan terpidana telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Artinya, berdasarkan putusan MK, kalau terdakwa bebas tahun 2020, maka terdakwa bisa mencalonkan diri setidaknya pada tahun 2025.
"Kalau melihat ini, Abah Anton tidak bisa maju. Ini kan ada perbedaan antara putusan pengadilan dan putusan MK. Mana yang berlaku, tergantung bagaimana KPU melakukan penafsiran," jelasnya.
Namun menurutnya, KPU seharusnya sudah tak perlu lagi memutar otak. Sebab jika dilihat dari asas hukum, Putusan MK memiliki kedudukan yang setara dengan undang-undang. Terlebih putusan tersebut berasas 'erga imnes', atau putusan yang mengikat semua pihak.
Oleh sebab itu, dirinya menilai, seharusnya yang berlaku adalah putusan MK, bukan putusan pengadilan negeri. Dan jika putusan MK yang berlaku, maka sudah jelas bagi terpidana yang belum memenuhi lima tahun setelah usai menjalani hukuman penjara, belum dapat berkontestasi di pilkada.
"Itu kalau merujuk pada putusan MK. Kalau putusan PN, ya bisa. Tp putusan MK mengatakan 5 tahun. Kalau pidana suap, di UU Tipikor itu di pasal 5 ayat 1, menyebutkan 1 sampai 5 tahun ancamannya. Berarti kan masuk," terangnya.
Selain itu juga mengacu pada asas hukum, 'lex superior derogate lex imperior'. Yang artinya yakni peraturan undang-undang yang lebih tinggi, mengalahkan peraturan di bawahnya. Yang kedua yakni asas 'Lex posterior derogat legi priori'. Yakni undang-undang yang baru mengalahkan undang-undang yang lama.
"Dan sampai saat ini putusan MK (nomor 56/PUU-XVII/2019) ini belum dianulir oleh putusan lain, atau UU baru. Jadi kalau dari sudut sini, Abah Anton secara hukum belum bisa mencalonkan," tegasnya.
Seperti diketahui, bahwa Abah Anton telah dijatuhi vonis oleh PN Tipikor Surabaya sesuai perkara Nomor 94/Pid.Sus-TPK/2018/PN SBY. Ia dihukum dengan pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp 100 juta subsider empat bulan kurungan. Ia terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam bunyi aturan itu, bagi siapapun yang dikenakan pasal tersebut maka diancam dengan hukuman pidana penjara paling sedikit satu tahun dan paling lama lima tahun.
Kembali juga ke hati masyarakat Kota Malang, Apakah masih mau dipimpin oleh Mantan Narapidana yang terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi.
0 Komentar